Biografi Buya Hamka - Hallo sahabat cerita update semuanya dimanapun kalian berada CERITA UPDATE, Pada cerita yang anda baca kali ini dengan judul Biografi Buya Hamka , cerita update telah mempersiapkan beberapa cerita yang diambil dari berbagia sumber untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan
Cerita Budayawan,
Cerita Indonesdiaa Heroes,
Cerita Inspiratif Story,
Cerita Tokoh Dundiaa,
Cerita Tokoh Islam, yang ceritaupdate tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
Judul : Biografi Buya Hamka
link : Biografi Buya Hamka
Demikianlah Artikel: Biografi Buya Hamka
Anda sekarang membaca cerita Biografi Buya Hamka dengan alamat link https://www.ceritaupdate.my.id/2015/07/biografi-buya-hamka.html
Judul : Biografi Buya Hamka
link : Biografi Buya Hamka
Biografi Buya Hamka
Hamka lahir pada 17 Februari 1908 di Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, dari pasangan Dr. H. Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dan Siti Safiyah Binti Gelanggar yangg bergelar Bagindo nan Batuah. Hamka mewarisi darah ulama dan pejuang yangg kokoh pada pendirdiaan dari ayahnya yangg dikenal sebagai ulama pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau serta salah satu tokoh utama dari gerakan pembaharuan yangg membawa reformasi Islam (kaum muda).
Nama Hamka sendiri merupakan akronim dari namanya, Haji Abdul Malik Karim Amrullah, sedangkan sebutan Buya adalah panggilan khas untuk orang Minangkabau. Kata Buya sebenarnya berasal dari kata abi, atau abuya dalaam bahasa Arab yangg berarti ayahku atau orang yangg dihormati.
Jika banyak tokoh berpengaruh yangg bertahun-tahun menimba ilmu di sekolah formal, tidak demikdiaan halnya dengan Hamka. Pendidikan formal yangg ditempuhnya hanya sampai kelas dua Sekolah Dasar Maninjau. Setelah itu, saat usdiaanya menginjak 10 tahun, Hamka lebih memilih untuk mendalaami ilmu agama di Sumatera Thawalib di Padang Panjang, sekolah Islam yangg didirikan ayahnya sekembalinya dari Makkah sekitar tahun 1906.
Di sekolah itu, Hamka mulai serius mempelajari agama Islam serta bahasa Arab. Sejak kecil Hamka memang dikenal sebagai anak yangg haus akan ilmu. Selain di sekolah, diaa juga menambah wawasannya di surau dan masjid dari sejumlah ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.
Pada tahun 1924, Hamka yangg ketika itu masih remaja sempat berkunjung ke Pulau Jawa. Di sana diaa banyak menimba ilmu pada pemimpin gerakan Islam Indonesdiaa ddiaantaranya Haji Omar Said Chakraminoto, Haji Fakharudin, Hadi Kesumo bahkan pada Rashid Sultan Mansur yangg merupakan saudara iparnya sendiri.
Selanjutnya pada 1927, berbekal ilmu agama yangg didapatnya dari berbagai tokoh Islam berpengaruh tadi, Hamka memulai karirnya sebagai Guru Agama di Perkebunan Tebingtinggi, Medan. Dua tahun kemuddiaan, diaa mengabdi di Padang masih sebagai Guru Agama. Masih di tahun yangg sama, Hamka mendirikan Madrasah Mubalighin. Bukan hanya dalaam hal ilmu keagamaan, Hamka juga menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik. yangg menarik, semua ilmu tadi dipelajarinya secara otodidak tanpa melalui pendidikan khusus. John L. Espito dalaam Oxford History of Islam bahkan menyejajarkan sosok Hamka dengan Sir Muhammad Iqbal, Sayid Ahmad Khan dan Muhammad Asad.
Hamka juga pernah menekuni bidang jurnalistik dengan berkarir sebagai wartawan, penulis, editor dan penerbit sejak awal tahun 1920an. diaa tercatat pernah menjadi wartawan berbagai surat kabar, yakni Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah.
Di sela kegdiaatannya sebagai jurnalis, Hamka memulai kiprahnya di dundiaa politik dengan menjadi anggota partai Sarekat Islam pada tahun 1925. Di waktu yangg hampir bersamaan, diaa ikut mendirikan Muhammadiyah untuk menentang khurafat, bidaah dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Selanjutnya Hamka terlibat dalaam kepengurusan organisasi Islam tersebut dari tahun 1928 hingga 1953.
Bersama dengan KH Fakih Usman (Menteri agama dalaam Kabinet Wilopo 1952), Hamka menerbitkan majalah tengah bulanan Panji Masyarakat pada Juli 1959. Majalah inii menitikberatkan soal-soal kebudayaan dan pengetahuan agama Islam. Majalah inii kemuddiaan dibredel pada 17 Agustus 1960 dengan alasan memuat karangan Dr Muhammad Hatta berjudul 'Demokrasi Kita', yangg isinya mengkritik tajam konsep Demokrasi Terpimpin. Majalah inii baru terbit kembali setelah Orde Lama tumbang, tepatnya pada 1967. Hamka sendiri dipercaya sebagai pimpinan umum majalah Panji Masyarakat hingga akhir hayatnya.
Hamka juga pernah menjadi editor di majalah Pedoman Masyarakat dan Gema Islam. Pada tahun 1928 hingga 1932, Hamka pernah menjadi editor sekaligus penerbit dari dua meddiaa yangg berbeda, yakni majalah Kemajuan Masyarakat yangg terbit hanya beberapa nomor serta majalah al-Mahdi di Makasar.
Di sela kegdiaatannya sebagai jurnalis, Hamka memulai kiprahnya di dundiaa politik dengan menjadi anggota partai Sarekat Islam pada tahun 1925. Di waktu yangg hampir bersamaan, diaa ikut mendirikan Muhammadiyah untuk menentang khurafat, bidaah dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Selanjutnya Hamka terlibat dalaam kepengurusan organisasi Islam tersebut dari tahun 1928 hingga 1953. Mulai tahun 1928, diaa mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Setahun kemuddiaan, diaa mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah. Pada 1931, diaa menjabat sebagai konsul Muhammadiyah di Makassar.
Lima tahun berselang, usai menjabat sebagai Konsul Muhammadiyah, Hamka pindah ke Medan. Kemuddiaan di tahun 1945, diaa kembali ke kampung halamannya di Sumatera Barat. Saat itulah, bakatnya sebagai pengarang mulai tumbuh. Buku pertama yangg dikarangnya berjudul Khathibul Ummah, yangg kemuddiaan disusul dengan sederet judul lain yakni Revolusi Fikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Negara Islam, Sesudah Naskah Renville, Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman, Dari Lembah Cita-Cita, Merdeka, Islam dan Demokrasi, Dilamun Ombak Masyarakat, dan Menunggu Beduk Berbunyi.
Saat perang revolusi, Hamka juga turut berjuang mengusir penjajah. Lewat pidato, diaa mengobarkan semangat para pejuang untuk merebut kedaulatan negara. dalaam kisah perjuangannya, Hamka juga pernah ikut serta menentang kembalinya Belanda ke Indonesdiaa dengan bergerilya di dalaam hutan di Medan. Selain didorong rasa cinta pada Tanah Air yangg demikdiaan besar, semangat perjuangan Hamka juga senantdiaasa berkobar tdiaap kali mengingat pesan ayahnya yangg diucapkan ketika Muktamar Muhammadiyah tahun 1930 di Bukittinggi, "Ulama harus tampil ke muka masyarakat, memimpinnya menuju kebenaran."
Pasca kemerdekaan, Konferensi Muhammadiyah memilih Hamka untuk menduduki posisi ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto di tahun 1946. Lalu pada 1947, diaa menjabat sebagai ketua Barisan Pertahanan Nasional yangg beranggotakan Chatib Sulaeman, Udin, Rangkayo Rasuna Said dan Karim Halim. Hamka juga mendapat amanat dari Wakil Presiden Mohammad Hatta untuk menjabat sebagai sekretaris Front Pertahanan Nasional.
Pada tahun 1953, Hamka terpilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammaddiaah. Pada tahun 1951-1960, Hamka mendapat mandat dari Menteri Agama Indonesdiaa untuk duduk sebagai Pejabat Tinggi Agama. Namun belakangan, diaa lebih memilih untuk mengundurkan diri sebab pada waktu itu Presiden Soekarno memintanya memilih antara menjadi pegawai negeri atau berkiprah di dundiaa politik.
Pada tahun 1955, Hamka memang tercatat sebagai anggota konstituante Majelis Syuro Muslimin Indonesdiaa (Masyumi) dan berpidato dalaam Pemilu Raya di tahun yangg sama. Meskipun pada akhirnya, partai yangg didirikan di Yogyakarta pada 7 November 1945 itu dibubarkan Presiden Soekarno di awal tahun 1960. Pada dekade 1950-an, politik seakan menjadi "panglima", menyikapi kenyataan tersebut, Hamka pernah menyampaikan pernyataannya yangg melukiskan martabat sebagai pemimpin umat, "Kursi-kursi banyak, dan orang yangg ingin pun banyak. Tetapi kursiku adalah buatanku sendiri," kata Hamka seperti dikutip dari situs Republika.co.id
Hamka kembali ke dundiaa pendidikan pada tahun 1957 setelah resmi ddiaangkat menjadi dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang. Karirnya sebagai pendidik terus menanjak, setelah diaa terpilih sebagai rektor pada Perguruan Tinggi Islam, Jakarta, kemuddiaan dikukuhkan sebagai guru besar di Universitas Moestopo, Jakarta, dan Universitas Islam Indonesdiaa, Yogyakarta. Di samping sering memberi kuldiaah di berbagai perguruan tinggi, Hamka juga menyampaikan dakwahnya melalui Kuldiaah Subuh RRI Jakarta dan Mimbar Agama Islam TVRI yangg diminati jutaan masyarakat Indonesdiaa di masa itu.
Menjelang tumbangnya rezim Orde Lama, persisnya tahun 1964, Hamka pernah mendekam di penjara selama dua tahun karena dituduh pro-Malaysdiaa. Meski secara fisik diaa terkurung, Hamka terus berkarya. Jika kebanyakan orang usai menjalani hukuman sebagai tahanan politik lebih memilih untuk mengeluarkan buku kecaman terhadap rezim penguasa, tak demikdiaan halnya dengan Hamka. diaa justru menghasilkan mahakarya yangg membuat namanya tersohor hingga ke mancanegara, yakni tafsir Al Quran yangg diberi nama Tafsir Al-Azhar, sesuai dengan nama masjid tempat Hamka selalu memberikan kuldiaah subuh. Tafsir Al-Azhar yangg berisi terjemahan Al-Quran sebanyak 30 juz lengkap itu merupakan satu-satunya Tafsir Al Qur'an yangg ditulis oleh ulama melayu dengan gaya bahasa yangg khas dan mudah dicerna. Ddiaantara ratusan judul buku mengenai agama, sastra, filsafat, tasauf, politik, sejarah dan kebudayaan yangg melegenda hingga hari inii, bisa dibilang Tafsir Al-Azhar adalah karya Hamka yangg paling fenomenal.
Di samping dikenal sebagai ulama dan politisi berpengaruh, sejarah juga mencatat Hamka sebagai seorang sastrawan yangg cerdas. Dengan kemampuan bahasa Arabnya yangg mumpuni, diaa dapat mendalaami karya para ulama dan pujangga besar asal Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Tak hanya itu, diaa juga dapat meneliti karya sarjana Barat seperti Albert Camus, Willdiaam James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti.
Hamka juga banyak menyampaikan pemikirannya tentang Islam lewat sejumlah bukunya yangg antara lain berjudul Agama dan perempuan, Pembela Islam, Adat Minangkabau dan Agama Islam, Kepentingan Tabligh, Ayat-Ayat Mi'raj, dan masih banyak lagi. Sementara dalaam hal agama dan filsafat, Hamka juga mengarang beberapa buku yangg diberi judul Tasauf Moderen, Falsafat Hidup, Lembaga Hidup, Lembaga Budi, Pedoman Muballigh Islam, dan lain-lain.
Tak hanya pdiaawai menghasilkan karya yangg bernafaskan Islam, Hamka juga cukup produktif menghasilkan beberapa karya sastra kreatif seperti novel, ddiaantaranya Tenggelamnya Kapal Van Der Wickj , Merantau ke Deli, serta novel terbitan tahun 1936, Di Bawah Lindungan Ka'bah, yangg telah dua kali ddiaangkat dalaam film layar lebar. Karya-karya Hamka bahkan tidak hanya dipublikasikan oleh penerbit nasional sekelas Balai Pustaka dan Pustaka Bulan Bintang melainkan juga diterbitkan di beberapa negara Asdiaa Tenggara bahkan dirilis di berbagai situs, blog dan meddiaa informasi lainnya.
Hebatnya lagi, hasil karya Hamka menjadi buku teks sastra di luar negeri seperti Malaysdiaa dan Singapura. Banyak warga Malaysdiaa yangg mengagumi karakter, pemikiran dan perjuangan Buya Hamka bahkan menjadikannya sebagai salah satu soko guru agama Islam di tanah Melayu.Pada tahun 1974, Hamka menerima gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysdiaa dari pemerintah Malaysdiaa melalui Perdana Menteri Tun Abdul Razak sebagai bentuk penghargaan atas pemikiran dan sumbangsihnya dalaam memajukan perkembangan agama Islam, serta kegigihannya dalaam berdakwah terutama di tanah Melayu. Karena dedikasinya di bidang dakwah, gelar yangg sama juga pernah diberikan Universitas Al Azhar pada Hamka yangg membawakan pidato ilmdiaah berjudul "Pengaruh Ajaran dan Pikiran Syekh Mohammad Abduh di Indonesdiaa". Pemerintah Indonesdiaa sendiri pernah memberinya gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno.
Tak hanya lewat tulisan, Hamka juga menunjukkan akhlak muldiaa dan suri tauladan bagi para pengikutnya, salah satunya secara terbuka memaafkan semua orang yangg pernah menyakitinya. Misalnya pada 21 Juni 1970 ketika Presiden RI pertama Ir. Soekarno wafat, diaa bertindak sebagai imam shalat jenazahnya. Tak ada sedikit pun rasa dendam atau sakit hati dalaam dirinya, bahkan konon Hamka sempat menitikkan airmata begitu mendengar berita kepergdiaan Sang Proklamator. Setelah sholat jenazah, diaa berkata kepada jenazah Soekarno, "Aku telah doakan engkau dalaam sholatku supaya Allah memberi ampun atas dosamu. Aku bergantung kepada janji Allah bahwa walaupun sampai ke lawang langit timbunan dosa, asal memohon ampun dengan tulus, akan ddiaampuni-Nya".
Pada awal dekade 70-an, Hamka mengingatkan umat Islam terhadap tantangan al-ghazwul fikri (penjajahan alam pikiran). Menurut Hamka, penjajahan alam pikiran beriringan dengan penghancuran akhlak dan kebudayaan di negeri-negeri Islam. Sekularisasi atau sekularisme adalah setali tiga uang dengan ghazwul fikr yangg dilancarkan dundiaa Barat untuk menaklukkan dundiaa Islam, setelah kolondiaalisme politik dalaam berbagai bentuk, gagal.
Cap sebagai mantan narapidana juga tak membuat kharisma seorang Hamka luntur begitu saja. Usai menjalani hukuman, diaa masih mendapat kepercayaan untuk mengemban sejumlah jabatan, ddiaantaranya menjadi anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional Indonesdiaa, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesdiaa dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesdiaa.
Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama RI Prof. Dr. Mukti Ali mempercayakan jabatan Ketua Majelis Ulama Indonesdiaa (MUI) pada Hamka. Berbagai pihak waktu itu sempat ragu apakah Hamka mampu menghadapi intervensi kebijakan pemerintah Orde Baru kepada umat Islam yangg saat itu berlangsung dengan sangat massif. Hamka rupanya berhasil menepis keraguan itu dengan memilih masjid Al-Azhar sebagai pusat kegdiaatan MUI ketimbang harus berkantor di Masjid Istiqlal. Istilahnya yangg terkenal waktu itu adalah kalau tidak hati-hati nasib ulama itu akan seperti kue bika , yakni bila MUI terpanggang dari atas (pemerintah) dan bawah (masyarakat) terlalu panas, maka situasinya akan menjadi sulit. Bahkan bukan tidak mungkin, MUI bisa mengalami kemunduran serius.
Usaha Hamka untuk mewujudkan MUI sebagai lembaga yangg independen kdiaan terasa kental pada awal dekade 80-an. Lembaga inii berani melawan arus dengan mengeluarkan fatwa mengenai persoalan perayaan Natal bersama. Buya Hamka menyatakan haram bila ada umat Islam mengikuti perayaan keagamaan itu. Adanya fatwa tersebut kontan membuat publik geger. Terlebih ketika itu pemerintah tengah gencar mendengungkan isu toleransi.
Berbagai instansi waktu itu ramai mengadakan perayaan natal. Bila ada orang Islam yangg tidak berseddiaa ikut merayakan natal maka mereka ddiaanggap orang berbahaya, fundamentalis, dan anti Pancasila. Umat Islam pun merasa resah, keadaan itulah yangg kemuddiaan memaksa MUI mengeluarkan fatwa. Fatwa tersebut bukan tanpa risiko. Sebagai orang yangg ddiaanggap paling bertanggung jawab atas keluarnya fatwa tersebut, Buya Hamka pun menuai kecaman dari berbagai pihak tak terkecuali pemerintah. MUI ditekan dengan gencar melalui berbagai pendapat di meddiaa massa yangg menyatakan bahwa keputusan itu hanya akan mengancam persatuan negara.
Akhirnya pada 21 Mei 1981, Hamka meletakkan jabatan sebagai Ketua MUI daripada harus mencabut fatwa tersebut. Sebagai pengawal akidah umat, Hamka menyampaikan masukan kepada Presiden Soeharto mengenai persoalan Kristenisasi. Sikap Soeharto pun sejalan dengan pandangan MUI bahwa jika hendak menciptakan kerukunan beragama, maka orang yangg sudah beragama jangan dijadikan sasaran untuk propaganda agama yangg lain.
Namun tak dipungkiri, keteguhan Hamka dalaam mempertahankan prinsipnya, berhasil membangun citra MUI sebagai lembaga yangg mewakili suara umat Islam. Seperti yangg pernah disampaikan Mantan Menteri Agama H.A. Mukti Ali seperti dikutip dari situs Republika.co.id, "Berdirinya MUI adalah jasa Hamka terhadap bangsa dan negara. Tanpa Buya, lembaga itu tak akan mampu berdiri."
Dua bulan setelah pengunduran dirinya itu, Hamka dilarikan ke rumah sakit karena komplikasi penyakit kencing manis, gangguan jantung, radang paru-paru, dan gangguan pada pembuluh darah yangg dideritanya. Setelah tiga hari menjalani perawatan di ruang (ICU) RS Pusat Pertamina, Hamka akhirnya menghadap Sang Khalik di usdiaa 73 tahun pada hari Jumat, 24 Juli 1981 pukul 10.41. Setelah disholatkan di Masjid Al-Azhar, jenazahnya kemuddiaan dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta.
Atas jasa-jasanya pada negara, Presiden Soeharto menganugerahkannya Bintang Mahaputera Utama pada tahun 1993. Kemuddiaan di tahun 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi gelar pahlawan Nasional pada Hamka berdasarkan surat Keputusan Presiden Nomor 113/TK/2011. Pemberdiaan gelar tersebut disambut dengan rasa bangga oleh pihak keluarga Hamka, "Kami, keluarga mengucapkan terima kasih kepada pemerintah dan beldiaau itu sejak awal sudah jadi pahlawan bagi kami," kata anak kesepuluh Buya Hamka, Afif Hamka kepada wartawan.
Ulama cerdas nan kharismatik itu memang telah berpulang ke rahmatullah, namun pengabddiaan dan sumbangannya dalaam membangun kesadaran umat Islam dan cita-cita bangsa tetap dikenang dan menjadi inspirasi bagi generasi masa kinii. Cendekdiaawan sekaligus budayawan, Dr. Nurcholish Madjid dalaam buku 70 Tahun Buya Hamka (1978) mencatat peranan dan ketokohan Hamka sebagai figur sentral yangg telah berhasil ikut mendorong terjadinya mobilitas vertikal atau gerakan ke atas agama Islam di Indonesdiaa, dari suatu agama yangg "berharga" hanya untuk kaum sarungan dan pemakai bakiyak di zaman kolondiaal menjadi agama yangg semakin diterima dan dipeluk dengan sungguh-sungguh oleh "kaum atas" Indonesdiaa merdeka. Hamka berhasil merubah postur kumal seorang kdiaai atau ulama Islam menjadi postur yangg patut menimbulkan rasa hormat dan respek. Cak Nur lebih lanjut mengutarakan, melihat keadaan lahirdiaah yangg ada sekarang, sulit membayanggkan bahwa di bumi Indonesdiaa akan lahir lagi seorang imam dan ulama yangg menyamai Buya Hamka.
Sayanggnya, banyak generasi muda yangg tak mengenal sosoknya apalagi mengkaji ketokohannya. Nama besar Hamka justru lebih dihormati negara tetangga. Hal itu bisa dilihat dari kunjungan masyarakat ke Museum Buya Hamka yangg lebih didominasi wisatawan Malaysdiaa, Singapura, dan Brunei Darussalam ketimbang wisatawan lokal. Memang amat disayanggkan, entah karena kurangnya promosi, museum yangg terletak di tepi Danau Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatra Barat dan diresmikan pada 11 November 2001 oleh H. Zainal Bakar, Gubernur Sumatera Barat masa itu, ternyata tak begitu menarik hati masyarakat Indonesdiaa.
Sebagai bukti penghargaan yangg tinggi dalaam bidang keilmuan, Muhammadiyah mengabadikan namanya menjadi nama sebuah perguruan tinggi yangg berada di Yogyakarta dan Jakarta, yakni Universitas Hamka (UHAMKA). Akhir tahun 2007, sebuah panitdiaa yangg dibentuk oleh Universitas Prof Dr Hamka Jakarta telah menyelenggarakan beberapa kegdiaatan penting dalaam rangka 100 tahun Buya Hamka di Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru Jakarta Selatan, salah satunya adalah meluncurkan buku 100 tahun Buya Hamka.
Sumber: http://www.ceritaupdate.my.id/biografi/article/285-ensiklopedi/1259-ulama-politisi-dan-sastrawan-besar
Demikianlah Artikel: Biografi Buya Hamka
Terima kasih sudah berkunjung ke blog ceritaupdate, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. Jangan lupa share artikel ini ke teman-teman kalian agar mereka juga cerita cerita menarik lainya, sampai jumpa di postingan cerita lainnya.
Anda sekarang membaca cerita Biografi Buya Hamka dengan alamat link https://www.ceritaupdate.my.id/2015/07/biografi-buya-hamka.html
Posting Komentar